Kamis, 12 Februari 2009

"Djogdja" Tak Pernah Mati Urusan Kreativitas Kaos

Kompas Yogya, Sabtu, 3 Januari 2009 10:38 WIB

Oleh Idha Saraswati, Lukas Adi Prasetya, dan Mawar Kusuma

Yogyakarta memang tak pernah mati dalam urusan kreativitas. Begitu juga dalam soal tanda mata berbentuk kaos. Di masa liburan, kaos bikinan "aseli" Dagadu, kaos Dagadu-dagaduan, kaos distro, hingga kaos buatan seniman saling bersaing merebut hati wisatawan.

Libur tahun baru menjadi musim panen bagi PT Aseli Dagadu Djogdja (ADD). Penjualan aneka kaos yang diproduksi perusahaan ini naik hingga 500 persen. Melihat keriuhan di Unit Gawat Dagadu (UGD) di Jalan Pakuningratan, Jumat (2/1) sore itu, kenaikan sebesar 500 persen terasa wajar. Rombongan pelajar hingga keluarga tampak berlalu-lalang memilih kaos-kaos yang paling menarik hati.

Dalam sehari, kini rata-rata PT ADD bisa menjual 5.000 kaos. Jika harga satu kaos rata-rata Rp 50.000, PT ADD mendapat omzet sekitar Rp 250 juta hanya dalam waktu satu hari. "Kalau tamunya dari Jakarta atau Bandung, rombongan satu bus itu bisa membelanjakan uang sampai Rp 10 juta," kata Marketing Communication Officer PT ADD Daniell Alkam.

Ia menjelaskan, total angka penjualan tersebut berlaku bagi semua merek kaos yang diproduksi perusahaan yang memakai lambang mata itu. Merek-merek kaos itu adalah Dagadu, Omus, Oblongpedia, Daya Gagas Dunia, Hiruk Pikuk, dan Dagadu Bocah.

Setiap merek kaos punya ciri tersendiri dengan segmen pasar yang tertentu pula. Dagadu sebagai merek utama masih lekat dengan plesetan kata ala Yogyakarta. Tulisan Djogdja mbikin orang ketawa sedjak doeloe, misalnya, terpampang di bagian muka sebuah kaos Dagadu warna hijau muda yang melekat dalam tubuh manekin. Tulisan itu dilengkapi dengan gambar kepala orang tua berjanggut putih sehingga calon pembeli tak perlu waktu lama untuk menelusuri asal mula plesetan itu.

Menurut dia, kreativitas merupakan nyawa PT ADD sehingga bisa bertahan selama hampir 15 tahun. Setiap bulan setidaknya ada 10-15 desain baru yang diluncurkan. Untuk mendukung kreativitas dari tim artistik, PT ADD rutin mengundang tokoh-tokoh yang dianggap memahami Yogyakarta untuk dimintai masukan. Desain Keseriusan menggarap desain kaos itu juga cara PT ADD untuk tetap eksis di tengah gempuran kaos bajakan atau yang disebutnya sebagai "ndagadu" alias mencoba menjadi Dagadu. "Pada akhirnya, konsumen akan memilih, kalau mau kualitas ya dia akan ke Dagadu yang asli," katanya.

Nyatanya, kaos Dagadu imitasi pun ikut laris. Kaos-kaos seharga Rp 12.500 per potong ini tersebar di sekitar 30 lapak kaki lima sepanjang Malioboro. Desainnya dibikin mirip dengan konsep Dagadu. Labelnya pun bertuliskan asli bikinan Dagadu.

Andre, salah seorang pedagang, mengaku dalam musim liburan seperti sekarang ia bisa menjual lebih dari 100 helai kaos sehari. Kaos paling laris adalah yang bergambar atau bertuliskan sesuatu yang lucu, nyeleneh, dan unik. Anak-anak dan remaja adalah konsumen terbesarnya.
Tema kaos biasanya dibuat dari hal yang umum sampai yang khas Yogyakarta. Ada yang bergambar andong dan bertuliskan Jogja Never Ending Asia atau bertuliskan Walau Awak Kurus, Tapi Hati Tulus. Ada juga kaos bertuliskan Jalan-Jalan di Malioboro dengan Sepeda Teringat Tahun 76.

Dengan harga yang murah-meriah, lantas, bagaimana dengan kualitas kaos-kaos itu? "Ya, tahu sendirilah kualitas bahannya, juga sablonannya. Dengan harga Rp 12.500 per potong, tanpa sablon pun itu sudah harga kaos yang murah," ujar Andre, sembari tertawa.

Kata Andre, sablonan mungkin akan nyaris hilang dan warna kaos akan pudar dalam hitungan tiga bulan. Akan tetapi, toh itu tak jadi soal buat pembeli. Dengan harga amat miring dan desain yang cukupan, kaos Dagadu-dagaduan ini lumayan buat oleh-oleh.

Selama liburan, kaos distro juga diminati. Kaos ini berciri gambar karakter atau bertuliskan kata-kata khas anak muda. Kaos-kaos semacam ini biasanya diproduksi terbatas dan hanya dijual di distro.

Seephylliz Infection, pembuat kaos distro yang punya outlet Seephylliz Shop House di depan Plaza Ambarrukmo, misalnya, membuat 100 desain sebulan. Satu desain dibikin 150-200 kaos.
Kaos buatan seniman juga ikut laris dan diburu wisatawan mancanegara. Pada puncak musim liburan, penjualan kaos-kaos ini bisa terdongkrak hingga 50 persen. Sentra penjualan kaos semacam itu antara lain di Kafe Kedai Kebun Yogyakarta.

Menurut salah seorang penggagas gerai kaos di Kedai Kebun, Andry Kurniawan Boy, kaos bukan sekadar buah tangan tetapi juga menjadi media publikasi karya seni rupa. "Kami mencoba mewadahi banyaknya karya bagus yang tidak terpublikasi, tapi layak dikoleksi," katanya.
Biasanya pembeli memilih berdasar desain gambar dan label senimannya. Meskipun baru hadir setahun, masa liburan seperti sekarang telah membuatnya kewalahan memenuhi permintaan. Begitulah kaos dari Yogyakarta, sudah lama menjadi tanda mata yang mengesankan. Sampai kini pun masih tetap diburu wisatawan yang punya selera menghadirkan sesuatu yang lebih "abadi" ketimbang sekadar cerita....



Kaos, Sandang yang Diburu karena Keunikannya

KOmpas Yogya, Sabtu, 3 Januari 2009 10:39 WIB

Perkembangan kaos sebagai salah satu produk yang diburu karena memiliki keunikan motif semakin berkembang di Yogyakarta. Boleh dikata, produsen kaos yang mengusung motif-motif identitas budaya Yogyakarta tetap diburu konsumen di tengah membanjirnya motif kaos bertemakan tokoh-tokoh kartun dan ikon dunia maya yang sedang tren saat ini.

Produk kaos Dagadu, misalnya, sampai sekarang selalu laris manis diborong wisatawan, terutama saat musim liburan. Jika pada hari biasa kaos yang diproduksi Dagadu laku terjual 1.500 potong per hari, maka pada saat liburan bisa terjual 4.000-5.000 potong setiap hari.
Produsen kaos Jaran, yang awalnya dikenal memproduksi motif etnik dari seluruh wilayah Nusantara, masih diminati konsumen hingga kini. Dengan mengubah konsep motif yang semula "murni" etnik menjadi etnik kontemporer, Jaran selalu mendapatkan order kaos 1.000-2.000 potong setiap bulan.

Kendati demikian, kaos-kaos distro-yang biasanya menonjolkan motif gambar karakter/kartun-juga laris diburu wisatawan saat liburan. Artinya, bisa dikatakan bahwa kaos tak lagi melulu berfungsi sebagai penutup tubuh, melainkan telah menjadi bagian dari identitas yang hendak ditonjolkan pemakainya.

(BIMA BASKARA/LITBANG KOMPAS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar