Kamis, 12 Februari 2009

Kaos: Rezeki Rakyat, Palaian Rakyat

Kompas, Minggu, 12 Oktober 2008 03:00 WIB
Frans Sartono & Ilham Khoiri

Bandung bukan saja ibu kota Priangan, tetapi juga ibu kota per-kaos-an. Di ibu kota Provinsi Jawa Barat ini, kaos oblong alias T-shirt telah menjadi industri rakyat. Kaos menjadi penghidupan ribuan orang yang terlibat dalam proses pembuatannya.

Mari kita tengok kawasan Suci, sentra industri kaos di seputar Jalan Surapati, Cicaheum, Bandung. Di kawasan ini ada tak kurang dari 300 produsen kaos. Musim pemilihan kepala daerah alias pilkada—terlebih pemilu—merupakan masa panen bagi pelaku usaha kaos di Suci beserta ribuan karyawan mereka.

”Untuk kaos pilkada gubernur di Bandung kemarin saja, pesanan mencapai delapan juta potong. Jumlah itu menyebar, dikerjakan oleh banyak pabrik,” kata Marius Widyarto Wiwied, pengusaha kaos ”cap” C59.

Tahun 2008 ini memang menjadi masa panen besar. Pasalnya, di negeri yang sedang dimabuk demokrasi ini, pada kurun 2008 terjadi 40 pilkada, mulai pemilihan bupati, wali kota, dan gubernur. Dan jangan lupa, calon anggota legislatif alias caleg DPR dan DPRD juga ikut pesan kaos yang tentu saja bergambar diri sendiri sedang memakai jas berdasi. Pesanan itu datang dari berbagai penjuru seperti Kalimantan Timur, Lampung, Palembang, Bali, sampai Mimika.
Setiap pilkada, datang pesanan antara 15.000 sampai 500.000 potong kaos. Setidaknya itu menurut catatan Marnawie Munamah, Ketua Umum Koperasi Pengrajin Sentra Kaos Suci. ”Nomor (urut) belum turun saja sudah banyak yang memesan. Apalagi, setelah penentuan nomor urut calon, pesanan bisa dua kali lipat,” kata Marnawie.

Mengapa para pemesan memilih Bandung? Menurut Wawan Gunawan, pengusaha kaos dari konfeksi Planet Production, sentra kaos Bandung bekerja dengan semangat pasukan gerak cepat. Industri milik Wawan yang didukung 125 karyawan, misalnya, mampu melayani 25.000 kaos dalam sehari.

Wawan mulai berbisnis kaos sejak tahun 1998. Kini, sudah punya empat pabrik, dengan produksi rata-rata 500.000 potong kaos per bulan. Kaos itu umumnya diproduksi untuk memenuhi pesanan dari berbagai perusahaan, seperti perusahaan rokok, operator telepon seluler, atau perbankan. Sejak tahun 2004, dia banyak menerima order kaos untuk pilkada.
Menurut Wawan, pesanan untuk pilkada lumayan besar jumlahnya, mencapai sekitar 300.000 potong per bulan. Kaos itu biasanya dibuat dari bahan hyget yang murah dengan harga jual Rp 5.000 per potong. Satu partai atau calon kepala daerah biasa mesan sekitar 5.000 potong per satu desain. Keuntungan yang dikantongi hanya sekitar lima persen. ”Tak besar untungnya, tapi kalau pesanan banyak dan terus, itu bisa menghidupi produksi,” kata Wawan.

Dalam musim ramai pesanan itu, Wawan dan kawan-kawan mesti waspada. Pada tahun 2004, banyak rekan usahanya merugi, bahkan sampai gulung tikar, karena pesanan kaos tidak dibayar. Aris, seorang pengusaha kaos, merugi Rp 85 juta karena ada beberapa parpol yang tidak menebus pesanan kaos. Woah!

Penghidupan mandiri

Industri kaos di Bandung tumbuh sejak tahun 1980-an. Pada awal era itu, usaha kaos dikerjakan beberapa produsen saja, seperti C59, Christine Collection, dan Q. ”Saya masih memproduksi sekitar 60.000 potong pe bulan untuk kaos pesanan dan 50.000 potong untuk ritel,” kata Widyarto Wiwied, pendiri C59 yang termasuk pelopor bisnis perkaosan Bandung.

Setelah krisis moneter tahun 1997, kaos impor dari mancanegara semakin mahal. Akhirnya banyak yang memproduksi sendiri untuk dijual di pasar dalam negeri. Tahun 2000-an, tumbuh kaos yang diproduksi di rumahan untuk dipasarkan di jaringan distro, seperti dengan merek 347, Ouval, Airplane, Evile, dan Eat.

Industri kaos Suci tumbuh justru ketika krisis ekonomi tengah melanda negeri ini tahun 1998. Orang-orang yang kehilangan pekerjaan saat itu bertahan hidup dengan menyablon kaos dan mendirikan warung kaos di sekitar Suci. Kaos rupanya memberi mereka kehidupan sampai hari ini.

Salah satunya adalah Yayan Suryana (38) yang telah tiga tahun ini hidup dari pembuatan kaos di Suci. Mula-mula pria asal Majalaya, Kabupaten Bandung, ini kebagian peran sebagai buruh perapih jahitan bahan kaos dengan bayaran Rp 200.000 per minggu. Itu tiga tahun lalu. Dengan belajar dan dukungan dari majikan, perlahan ia mengerti berbagai proses produksi kaos.
”Sekarang saya naik pangkat jadi tukang obras. Nanti kalau sudah ada modal dan keahliannya bertambah, saya ingin mandiri. Majikan saya sudah mengatakan akan membantu bila anak buahnya ingin membuka usaha sendiri,” kata Yana.

Beberapa pengusaha kaos Bandung menggunakan semangat memandirikan karyawan. Farhad, Kepala Produksi Undersight, salah satu produsen clothing di Bandung, mengatakan industri kaos tidak sekadar melulu mengejar ekonomi. Proses mandiri membuat manusia menjadi lebih produktif. Hal itu dibuktikan adanya keinginan pekerja untuk mandiri mengembangkan usahanya.

Perry Tristianto, pengusaha sejumlah factory outlet (FO) di Bandung, misalnya, mendorong karyawannya untuk membuka usaha sendiri. Evita Farizca (33) adalah salah seorang karyawan di usaha FO milik Perry yang kini mempunyai usaha clothing sendiri sejak setahun lalu. Siang kerja di FO milik Perry, malam hari ia jalankan usaha pembuatan kaos bermerek 789.
”Modalnya hanya pesanan kaos dari teman. Saya membuat desain, membeli bahan, dan menjahitkan ke konfeksi. Kemudian saya pinjam uang dari teman untuk beli mesin jahit besar,” katanya.

Seluruh proses produksi—mulai dari membuat desain kaos, membeli bahan, memotong, menjahit, menyablon, sampai mengepak—dikerjakan sendiri. Usaha Evita berkembang. Kini dia bisa membeli beberapa mesin jahit sendiri, alat sablon, printer besar, dan printer untuk membuat film desain kaos. Karyawannya sekitar sembilan orang.

Menurut Widyarto Wiwied, jumlah perajin kaos rumahan di Bandung sekitar 800 orang. Adapun jumlah produsen kaos pabrikan di Bandung sekitar 100 pabrik. Kelompok distro di Jalan Sultan Agung-Trunojoyo sekitar 20-an toko distro. Itu belum termasuk di pelosok lain Bandung seperti Jalan Riau, Sultan Agung, dan lainnya. Soal merek yang banyak beredar dan dikenal di Bandung, mungkin jumlahnya mencapai 500 merek.

Rezeki kaos dari satu produsen itu menyiprat juga ke para pendesain, penjahit, penyuci, sampai pengepak. Bahkan lebih jauh lagi ke tukang es durian dan tukang jajanan yang dipastikan berjualan di depan FO atau distro di Bandung.


Lebih "Playful"
Minggu, 12 Oktober 2008 03:00 WIB

Desain grafis kaos punya tren yang berubah-ubah. Sekarang, trennya sedang mengarah pada visual yang memperlihatkan semangat bermain alias playful. Desainer bekerja dengan hasrat berekspresi secara bebas.

Grafis kaos sekarang banyak dipenuhi berbagai ikon pop yang dicomot dari jalanan atau internet secara instan. Gambar-gambar itu lantas diolah dengan teknik kolase sehingga membentuk visual yang segar. Beberapa diberi tambahan teks yang nakal.

Dilihat dari bentuk gambarnya, corak grafis sekarang lebih eklektif karena mencampurkan berbagai gaya sekaligus. Tak hanya bertolak dari gaya gotik atau tribal yang populer pada masa lalu, grafis kaos sekarang banyak mengutak-atik tipografi huruf, atau mengolah elemen rupa abstrak. Teknik drawing, semprot dengan air brush, dicetak bebas, atau lukisan diperlakukan secara bebas.

”Sekarang serba bebas. Semuanya bisa diserap dan diolah,” kata Andru, desainer kaos Backside Production di kawasan Pasirluyu, Bandung.

Saking getolnya bermain visual, banyak grafis yang menawarkan corat-coret yang meaningless alias tanpa pesan yang jelas. Minat beli konsumen dirangsang lewat penampilan visual yang segar dengan warna-warni hasil cetakan full printed. ”Banyak yang pakai warna mentah, seperti sengaja menolak disiplin ilmu warna dalam lingkungan akademis,” kata Dendy Darman, desainer brand Unkl 347.

Hanya saja, kemudahan mengakses gambar-gambar populer di internet membuat banyak kalangan khawatir, desainer makin terjebak pada pola jiplak-menjiplak. ”Kalau desain yang lagi tren seperti gambar tengkorak terus diulang, lama-lama pasar jenuh juga,” kata Hanafi Salman, desainer kaos Mahanagari.

Bagaimanapun, konsumen memang lebih menghargai desain yang segar, bahkan termasuk teks-teks nakal yang menggoda. ”Selera konsumen kadang aneh. Saya pernah buat grafis kaos untuk anak dengan teks ’Where is my fucking milk?’. Ternyata laku keras,” kata Perry Tristianto, pemilik The Big Price Cut Group, perusahaan pemasaran kaos di Bandung.

Dalam konteks seperti itu, desain kaos untuk kampanye partai politik, pilkada, atau calon anggota legislatif yang hanya mengulang komposisi logo partai, foto calon, dan slogan yang begitu-begitu saja tentu semakin kehilangan daya pikat. Bukannya tertarik, masyarakat mungkin malah bosan dengan tampang para politisi yang diobral dengan cara begitu.
Kepala Divisi Desain Industri Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) Dudy Wiyancoko berharap, industri kreatif kaos di Bandung sebaiknya tak berhenti pada eksplorasi desain grafis. Penggiat industri kaos juga harus mengembangkan kaos dengan bahan terbaik yang nyaman dipakai konsumen. ”Di luar negeri, kita tidak hanya dituntut bersaing dengan grafis, tetapi juga dengan teknologi pembuatan kain kaos,” katanya. (iam/che/bay)


Rebel With a "Kaos"
Minggu, 12 Oktober 2008 01:32 WIB

Rebel Without a Cause: inilah film yang semakin memopulerkan kaos oblong alias T-shirt, terutama di kalangan kaum muda pada paruh kedua era 1950-an. James Dean, aktor utama dalam film produksi tahun 1955 itu, mengenakan kaos oblong, celana blue jeans dan tentu saja jaket merah—jangan lupa pula rambut jambulnya. T-shirt, jins, dan jaket kulit kemudian menjadi semacam simbol pemberontakan kaum muda.

Sebelumnya, Marlon Brando mengagetkan dunia mode dengan kaosnya lewat film A Streetcar Named Desire tahun 1951. Dalam poster resmi film arahan sutradara Elia Kazan itu tampak Brando mengenakan T-shirt putih dengan lengan tergulung sehingga memperlihatkan lengannya yang gempal. Ia tengah memeluk Vivien Leigh, aktris rekan mainnya dalam film tersebut. Kaos sejak itu menjadi alternatif gaya berpakaian kaum muda.

Marlon Brando dan James Dean adalah pemberontak yang menjadikan kaos populer lewat film layar lebar. Perlu dicatat, mereka saat itu menggunakan kaos polos tanpa sentuhan grafis sedikit pun.

Kaos terbukti diterima kaum muda. Buku The T-Shirt: A Collection of 500 Design yang disusun Luo Lv, Zhang Huiguang menuliskan pada paruh kedua 1960-an, kaos telah menjadi medium penyampai ekspresi, identitas kelompok, dan protes.

Generasi Bunga dengan kaum hippies-nya menggunakan kaos ikat-celup sebagai identitas kaumnya. Model ini menyebar hingga Indonesia sampai ke tingkat kampung-kampung. Muncullah kaos yang dicelup ke dalam cairan pewarna wantek. Sebelumnya, kaos diikat dengan senar—seperti teknik jumputan.

Protes kaum muda pada kebijakan perang Vietnam di akhir 1960-an melancarkan protes damai dengan kaos ”Make Love Not War” dan ”Give Peace a Chance”. Salah satu pemakainya adalah John Lennon, penggubah lagu ”Give Peace a Chance”. Simbol perdamaian, peace, rancangan Gerald Holtom yang berbentuk seperti kemudi mobil itu tertera di kaos dan dikenakan orang di mana-mana, termasuk Indonesia.

Sejak itu kaos tak pernah lepas dari kultur kaum muda dan mereka yang berhati muda. Kaos menjadi penyampai segala bentuk ”ideologi” dari musik, selera, sampai politik.

Ini merupakan ”evolusi” karena sebelumnya kaos adalah undershirts alias pakaian dalam yang lewat proses panjang menjadi pakaian luar dan bagian dari pop culture. Tahun 1913 angkatan laut AS menjadikan T-shirt sebagai pakaian pelapis resmi. Prajurit yang ditempatkan di daerah berhawa panas sering hanya mengenakan T-shirt. Sejak saat itu, tepatnya pada tahun 1920, T-shirt masuk entri dalam kamus Merriam—Webster.

Dinamika mode tak pernah berhenti. Mereka yang mengingkari putaran mode akan berisiko menjadi out of date atau penghuni museum. (XAR)

Berdemokrasi Lewat Kaos

Minggu, 12 Oktober 2008 03:00 WIB
ilham khoiri

Apa pentingnya sebuah T-shirt alias kaos? Lebih dari sekadar pakaian yang nyaman untuk alam tropis, kaos juga efektif sebagai sarana berdemokrasi. Lewat bermacam teks dan gambar yang sebagian disablon sendiri di atas kain kaos, banyak anak muda yang mengekspresikan diri, melontarkan kritik, serta meletupkan spirit kebebasan yang menerabas kemapanan.

Semangat anak-anak muda di Bandung, ibu kota Jawa Barat, mungkin bisa mewakili gejala semacam itu. Bersamaan dengan tumbuhnya industri kaos di sana, merebak pula berbagai grafis kaos yang menyuarakan aspirasi kaum muda. Fenomena ini mudah tertangkap jika kita mau keluyuran sebentar untuk melongok puluhan distribution outlet alias distro di sepanjang Jalan Trunajaya dan Jalan Sultan Agung yang menjajakan beragam merek kaos.

”After ten years, friends call us unkle”. Begitu teks yang tercetak di atas banyak kaos produksi Unkl 347, sebuah brand kaos yang lagi ngetop di kalangan kaum muda Bandung. Meski kaosnya dihiasi bermacam gambar unik- unik, teks tersebut masih kerap disertakan.

”Setelah 10 tahun, kita kan sering disapa ’om’ oleh teman-teman kita sendiri yang sudah pada punya anak. Grafis kami memang menceritakan hal-hal sederhana seputar diri kita,” kata Dendy Darman, Kamis (9/10) lalu. Lulusan Desain Grafis Institut Teknologi Bandung (ITB) itu membangun brand 347 sejak tahun 1996.

Mahanagari, brand kaos lain, memilih untuk lebih menggarap budaya Bandung. Salah satu kaos rancangannya menyematkan tulisan besar-besar: ”F=V=P”. Teks ini segera mengingatkan kita pada lidah banyak orang Bandung yang suka gelepotan saat mengucapkan konsonan F, V, dan P dengan bunyi lafal yang sama.

”Kaos ini laku keras karena banyak orang merasa, wah teks itu gue banget,” kata dua desainer Mahanagari, Ben Wirawan dan Hanafi Salman.

Mau yang agak sangar? Ucok, vokalis band Homicide (1994-2007), bersama teman-temannya, pernah membuat kaos khusus untuk menyambut Pemilu 2004. Merasa kehilangan kepercayaan pada para calon presiden dan anggota legislatif yang akan dicoblos dalam pemilu, mereka mencetak kaos bertuliskan: ”Who ever they voted for, we are ungovernable”.

”Ya, siapa pun yang mereka coblos dalam pemilu, kita memang tak bisa diperintah,” kata Ucok, yang sejak tahun 2007 lalu membentuk band baru, Triggermortis.

Daftar teks atau gambar kaos yang menyentil atau menarik perhatian semacam itu bisa dirinci lebih panjang lagi. Soalnya, di Bandung sekarang ini, ada lebih dari 500 merek yang aktif memproduksi total jutaan kaos setiap bulan, yang dipasarkan distro, factory outlet, atau pusat perbelanjaan. Kaos-kaos itu kini jadi fashion statement atau sarana untuk menyuarakan aspirasi.

Komunitas

Bagaimana kaos yang biasanya dikenakan sebagai pakaian yang nyaman untuk alam tropis itu menjelma jadi fashion statement? Bersamaan dengan tumbuhnya industri kaos lokal pascakrisis ekonomi tahun 1998, banyak orang yang mencoba memanfaatkan kaos sebagai sarana berekspresi, terutama lewat teks dan gambar sablonan atau cetakan.

Unkle 347, Eat, Ouval Research, Monic Celtic, Airplane System, atau God Inc—untuk menyebut beberapa—termasuk brand yang merintis fenomena itu. Pada awalnya, mereka kerap memproduksi kaos secara terbatas untuk melayani kebutuhan komunitas musik, terutama band-band underground.

Kimung, penggiat kelompok Ujungberung Rebel, mengungkapkan, kelompok musik underground seperti Puppen, Jasad, Burgerkill, dan Forgotten membuat kaos secara indies untuk mengikat hubungan emosional antara penggemarnya. ”Kaos bergambar logo band atau cover album jadi identitas kelompok,” katanya.

Lama-lama, gejala ini semakin menyebar luas. Kaos juga diproduksi untuk beragam komunitas anak muda yang diikat oleh kesamaan hobi, olahraga (seperti skateboard dan surfing), atau ideologi tertentu. Setiap kaos jadi semacam talking shirt untuk menyatakan identitas kelompok. Kaos juga digarap untuk menyuarakan apa saja, mulai dari hal-hal sepele di sekitar mereka, kritik atas kemampatan sosial-politik, subversi terhadap budaya mapan, atau sekadar jadi ekspresi personal.

”Saya punya dua lusin kaos bergambar tengkorak. Tengkorak itu mewakili semangat kebebasan, keberanian,” kata Onesun (39), penggemar olahraga skateboard di Bandung.
Di Jakarta, Adrie Subono (54), promotor pertunjukan dari Java Musikindo, mengaku 90 persen pakaian sehari-harinya adalah kaos. Sebagian besar kaos itu berwarna gelap, terutama hitam. ”T-shirt itu comfortable, fashionable, bikin kita rileks, dan lebih cocok untuk udara di sini. Saya lebih percaya diri pakai kaos daripada pakai baju he-he-he...,” kata lelaki yang tinggal di bilangan Pondok Indah, Jakarta Selatan, itu.

Demokrasi

Di luar kelompok anak muda di Bandung atau pribadi seperti Adrie Subono, apa pentingnya kaos bagi kehidupan masyarakat umum?

Menurut Bambang Sugiharto, pengamat budaya dari Universitas Parahyangan, Bandung, kaos bisa mencerminkan budaya egaliter dan demokrasi. Ketika mengenakan kaos, setiap orang akhirnya punya posisi yang sama, tanpa kelas.

”Beda dengan batik, kemeja, atau jas berdasi yang mencitrakan kelas tertentu, kaos tak memperlihatkan konteks sosial yang spesifik, dan memperlakukan orang secara setara, tanpa pandang bulu,” katanya.

Lebih dari itu, setiap potong kaos pada dasarnya adalah ”billboard berjalan” yang menyediakan ruang visual yang sama bagi setiap orang untuk bicara, berekspresi. Kekuatan kaos ini relevan dengan kebutuhan individu atau kelompok masyarakat kontemporer yang selalu berhasrat untuk menyatakan diri.

Meminjam istilah filsuf Perancis, Jean-François Lyotard, fenomena berdemokrasi lewat kaos sekarang ini mencerminkan kebangkitan narasi-narasi kecil. Meski kadang bersifat personal atau sulit diidentifikasi secara ketat, tetapi kemunculan narasi kecil selalu dibutuhkan untuk menyegarkan narasi, ideologi, atau otoritas besar yang terlalu mapan. Kemapanan yang banyak dipertahankan oleh orang-orang yang gemar dengan pakaian seragam (atau pikiran yang diseragamkan). (Frans Sartono/Cornelius Helmy/Dwi Bayu Radius)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar